Mbah Muntaha Al-Hafidh
Di antara deretan ulama di
tanah air, nama KH Muntaha Al-Hafizh tentulah bukan nama yang asing. Ia adalah
sosok di balik megahnya bangunanan Pondok Pesantren, sekolah SMA dan SMP
Takhassus Al-Qur`an serta UNSIQ, Wonosobo, Jawa Tengah, yang sebelumnya bernama
IIQ, sewaktu ia masih menjabat sebagai Rektor.
KH Muntaha Al-Hafidz lahir
sekitar tahun 1910 M di Kalibeber, Wonosobo. Ia adalah ulama Multidimensi yang
mempunyai segudang ide dan pemikiran cemerlang yang bisa dijadikan sebagai
pelajaran bagi ulama lainnya.
Pertama, Ide Pendidikan. Dalam dunia pendidikan KH. Muntaha
Al-Hafidz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di
bawah naungan Yayasan Al-Asy`ariyyah. Yayasan tersebut saat ini menaungi
berbagai jenjang pendidikan antara lain, Taman Kanak-Kanak (TK) Hj. Maryam,
Madrasah Diniyah Wustho, 'Ulya dan Madrasah Salafiayah Al-Asy`ariyyah, SMP dan
SMU Takhassus Al-Qur'an, SMK Takhassus Al-Qur`an, Universitas Sains Al-Qur`an
(UNSIQ), khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan
Pendidikan Ilmu-Ilmu Al-Qur'an (YPIIQ) namun cikal bakalnya Pesantren Al
Asy'ariyah. YPIIQ sendiri sebelumnya telah mendirikan Institut Ilmu Al Qur’an
(IIQ) JawaTengah sebagai embrio dari UNSIQ. KH. Muntaha Al-Hafidz juga menjadi
salah seorang pendiri bahkan memegang jabatan Rektor pada saat Perguruan Tinggi
ini sebelum berubah menjadi universitas adalah merupakan bukti implementasi
dari ide dan pemikirannya.
Implementasi dari ide dan
pemikirannya di bidang pendidikan diwujudkan dengan memadukan antara pesantren
yang notabene merupakan pendidikan non formal dan pendidikan formal sejak dari
TK sampai Perguruan Tinggi.
Kedua, Ide Tentang Dakwah dan Sosial. Dalam bidang dakwah,
dibentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah untuk aktifitas
santri Pondok Pesantren Al-Asy`ariyyah dalam menyiarkan Islam, baik yang
diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan
kualitas diri, maupun kepada masyarakat dalam bentuk pengabdian dan kepedulian
pondok pesantren terhadap kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya
di bidang sosial keagamaan. Adapun aktifitasnya, meliputi: bacaan shalawat,
Qira'atul Qur'an, khitobah dengan menggunakan empat bahasa, yakni: bahasa
Inggris,Arab dan bahasa Indonesia serta bahasa Jawa, juga Qosidah dan rebana
yang merupakan kesenian bernuansa islami. Dalam bidang sosial, ia juga merintis
berdirinya Pusat Pengembangan Masyarakat (PPM) bersama dengan Adi Sasono KH.
MA. Sahal Mahfudz.
Ketiga, Ide Tentang kesehatan. Dalam bidang kesehatan,
implementasi dari ide dan pemikirannya diwujudkan dalam pendirian balai
pengobatan dan pendirian Pendidikan Akademi Keperawatan (AKPER). Akper ini
sekarang berada di lingkungan Universitas Sains Al-Qur`an (UNSIQ) Wonosobo,
Jawa Tengah. Karenanya institusi ini diberi nama AKPER UNSIQ. Selain itu,
dibentuk Poliklinik Maryam. Poliklinik ini tidak hanya melayani santri dan
mahasiswa saja, akan tetapi juga melayani masyarakat umum di sekitar poliklinik
bahkan sering pula masyarakat dari daerah atau kecamatan lain yang memeriksakan
kesehatannya di Poliklinik Maryam ini. Bahkan sebelumnya, ia telah merintis dan
mendirikan Balai Kesehatan di Tieng, Kejajar, pada tahun 1986, yang disusul
pula dengan pendirian Rumah Sakit Islam (RSI) Kabupaten Wonosobo.
Keempat Ide Tentang Pemikiran Islam, Ia juga tidak
ketinggalan dalam memberikan ide dan pemikiran di bidang pemikiran Islam. Dalam
bidang ini, ia membentuk "tim sembilan" untuk menyusn tafsil
Al-Maudhu`i.
Dalam rangka menghadapi era
globalisasi, KH. Muntaha Al-Hafidz memiliki ide dan pemikiran tentang perlunya
penguasaan bahasa, yakni tidak hanya bahasa Indonesia dan bahasa Arab saja,
melainkan juga bahasa Inggris, Cina, Jepang, dan lain-lain bagi para santri
Al-Asy`ariyyah untuk bisa menjelaskan isi dan kandungan Al-Qur`an kepada
masyarakat luas (internasional). Dan ide ini telah dipraktekan di Pondok
Pesantren Al-Asyariyyah, juga di SLTP, SMU, dan SMK Takhassus Al-Qur'an,
termasuk di dalamnya Universitas Sains Al-Qur`an.
Implementasi dalam bidang seni,
terutama seni kaligrafi ia wujudkan dalam tulisan "Mushaf
Al-Asy`ariyyah" (Al-Qur'an Akbar). Al-Qur'an ini memang berukuran besar,
bahkan pada waktu dipublikasikan Al-Qur'an ini tercatat paling besar di dunia.
Ukuran mushafnya 2 x 15 m pada saat kondisi tertutup dan berukuran 2 x 3 m
dalam kondisi terbuka. KH. Muntaha Al-Hafidz adalah tokoh dan figur pemimpin
yang patut untuk menjadi teladan. Aktifiatas, ide, dan pemikirannya selalu
berorientasi ke masa depan. Sehingga santri-santrinya digembleng sedemikian
rupa dengan harapan, di kemudian hari nanti mampu berinteraksi dengan komunitas
masyarakat yang heterogin dan berbeda kondisi sosialnya.
Keseluruhan hidup Mbah Muntaha
telah diabdikan untuk pencerahan dan pembebasan umat, baik melalui wadah
pesantren yang ia warisi dari orang tuanya (KH. Asyari), maupun melalui
Jami'iyyah NU yang telah dipilih sebagai medium perjuangannya. Di zaman
kemerdekaan, perjuangan Mbah Muntaha selalu mengikuti ritme perjuangan NU. Di
samping berjuang memanggul senjata dengan bergabung sebagai Laskar Hizbullah
dan memimpin BMT (Barisan Muslimin Temanggung) sebuah laskar kerakyatan yang
turut berjuang membela kemerdekaan. Ia juga aktif mengikuti gerakan NU.
Sewaktu NU melalui muktamarnya
di Palembang memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai partai
politik sendiri, sebagai akibat dari tindakan para politisi Masyumi yang
berasal dari kalangan non pesantren terlalu meremehkan peran politisi dari
pesantren. Ia pun terlihat aktif dalam memperjuangkan NU untuk berkiprah di
masyarakat bahkan sempat ditunjuk menjadi anggota Konstituante mewakili NU Jawa
Tengah sampai dibubarkannya majlis itu pada tanggal 5 Juli 1959. Kondisi itu
itu terus berlangsung hingga tahun 1972 saat pemerintah orde baru menetapkan
bahwa partai Islam harus berfusi dalam satu wadah partai yaitu Partai Persatuan
Pembangunan. Sebagai konsekuensi dari sikap NU yang harus mengikuti peraturan
pemerintah walalupun secara politik sangat merugikan NU, Mbah Mun pun ikut
terlibat aktif dalam Parta Persatuan Pembangunan. Kondisi itu berlangsung
hingga dicanangkannya kembali ke Khittoh 1926.
Setelah sekian tahun bergulat
dalam tandusnya lahan politik praktis, Mbah Mun kembali melirik kondisi
pesantrennya yang terlihat belum begitu tampak kemajuannya. Kemudian Ia memilih
untuk berpolitik secara substansial yaitu menggunakan jalur politik dengan
tujuan membawa kemaslahatan umat yang lebih banyak. Dari perubahan sikapnya itu
kemudian Ia menata pesantrennya dengan membenahi pola pengajarannya. Bahkan
kemudian mendirikan dua sekolahan yaitu SMP dan SMA Takhassus Al-Qur'an yang
berafiliasi kepada penajaman pemahaman Al-Qur'an bahkan pada gilirannya
mendirikan Institut Ilmu Al-Qur'an sebagai wadah penggodokan sarjana Al-Qur'an
yang mampu dalam pemahaman Ilmu Al-Qur'an dan umum. Dalam kaitan ini pula Mbah
Mun tak kenal lelah meyakinkan berbagai pihak akan pentingnya pembenahan NU,
mengingat posisinya yang strategis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Puncaknya Ia menghadiri Muktamar NU ke 27 di Situbondo yang diantaranya,
memutuskan kembali ke Khittoh 1926. Fanatisme Mbah Mun terhadap NU ini dapat
dipahami mengingat latar belakang Ia sebagai orang pesantren yang senantiasa
memelihara ajaran pendahulunya dan perjuangan Ia dalam berbangsa dan bernegara
melalui wadah NU.
Satu hal yang mungkin belum
banyak terekam dalam sejumlah tulisan tentang Mbah Mun adalah tulisan (risalah)
yang ditulis oleh Ia atau manuskrip serta gagasan dalam bentuk tulisan yang Ia
sendiri turut memberikan sumbangan pemikirannya, belum banyak dipublikasikan.
Padahal sebagai seorang Kyai yang multidimensi, termasuk kepiawaian Ia
berbicara di depan orang banyak sebagai seorang orator dan mampu menghanyutkan
pendengar ke arah isi pidatonya dengan disertai ilmu balaghohnya banyak
disenangi oleh pendengar, serta jabatan yang Ia sandang baik formal maupun non
formal, banyak tulisan Ia yang menunjukkan kepiawaian Ia dalam menyampaikan
gagasan pikirannya, atau sekedar menyampaikan pesan kepada umatnya. Atau
terkadang Ia menyuruh seseorang untuk menyusun suatu tulisan dengan yang
dikehendaki Ia, dan terkadang Ia merestui suatu gagasan yang telah tersusun
dalam bentuk buku yang memang sesuai dengan gagasan Ia, sebagai penghormatan
karya dari orang tersebut serta sebagai dorongan untuk terus berkarya.
Hal ini
hampir sama dalam khazanah kepustakaan Islam, misalnya gagasan seorang alim
yang tertuang dalam bentuk tulisan Kitab Klasik (kuning) terkadang bukan dari
tulisan tangannya sendiri, bahkan ditulis dari muridnya atau orang yang sengaja
disuruh untuk menuliskannya. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Mbah Mun ini
bisa menjadi konvensi bagi para Kyai maupun santri di daerah yang pesantrennya
hendak eksis, bahwa di samping menguasai ilmu-ilmu keislaman dan juga ilmu
umum, yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dituntut pula untuk trampil menyampaikan suatu gagasan lewat tulisan
No comments:
Post a Comment